Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan
Penghukuman Perdagangan Manusia. Khususnya
Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan
Transnasional yang Terorganisir
Ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 15 Nopember 2000*
MUKADIMAH
Negara-negara Pihak Protokol ini,
Menyatakan bahwa tindakan-tindakan efektif untuk mencegah dan memerangi perdagangan
manusia, terutama perempuan dan anak-anak, membutuhan sebuah pendekatan internasional yang komprehensif di negara asal, negara transit dan negara tujuan yang mencakup langkah-langkah untuk mencegah perdagangan, untuk menghukum para pelaku perdagangan dan untuk melindungi korban korban perdagangan manusia, termasuk melindungi hak asasi mereka yang diakui secara internasional,
Mempertimbangkan fakta bahwa, meskipun ada berbagai macam instrument internasional yang
berisi aturan-aturan dan langkah-langkah praktis untuk memerangi exploitasi manusia, terutama
perempuan dan anak-anak, namun tidak ada instrument universal yang menangani semua aspek perdagangan manusia,
Memperhatikan bahwa, dalam ketiadaan instrument semacam itu, orang-orang yang rentan
terhadap perdagangan tidak akan mendapat perlindungan yang memadai,
Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman
Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak
Mengingat resolusi Majelis Umum 53/111 tanggal 9 Desember 1998, yang Majelis memutuskan
untuk membentuk sebuah komite ad hoc antar pemerintah tanpa batasan dengan tujuan mengelaborasi sebuah konvensi internasional yang komprehensif untuk melawan kejahatan transnasional yang terorganisir dan untuk membahas elaborasi dari, salah satunya, sebuah instrumen internasional yang menangani perdagangan terhadap perempuan dan anak-anak.
Meyakini bahwa dengan menambah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir dengan sebuah instrumen internasional untuk pencegahan, penghentian, dan penghukuman perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak-anak, akanlah sangat bermanfaat untuk mencegah dan memerangi kejahatan tersebut,
Telah menyepakati hal-hal sebagai berikut:
*Lihat resolusi Majelis Umum 55/25 tanggal 15 Nopember 2000. Protokol ini diberlakukan pada tanggal
25 Desember 2003. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnational yang Terorganisir
(belum terdapat dalam edisi ini) yang berlaku pada tanggal 29 September 2003.
I. KETENTUAN UMUM
Pasal 1. Hubungan dengan Konvensi Persrikatan Bangsa-Bansga
terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir
1. Protokol ini melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional
yang Terorganisir. Hal ini harus diinterpretasikan secara bersamaan dengan Konvensi tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan Konvensi haruslah berlaku secara mutatis mutandis terhadap protokol ini
kecuali disebutkan sebaliknya dalam dokumen ini.
3. Pelanggaran-pelanggaran sesuai dengan pasal 5 dari Protokol ini harus dianggap sebagai pelanggaran pelanggaran sesuai dengan Konvensi.
Pasal 2. Pernyataann Tujuan
Tujuan-tujuan dari Protokol ini adalah :
(a) Untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, dengan menaruh perhatian khusus
terhadap perempuan dan anak-anak;
(b) Untuk melindungi dan membantu korban-korban perdagangan manusia, dengan menghormati
secara penuh hak asasi mereka;
(c) Untuk pemajuan kerjasama diantara Negara-negara Pihak dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan
tersebut.
Pasal 3. Penggunaan Istilah
Untuk tujuan-tujuan dari Protokol ini:
(a)”Perdagangan manusia” haruslah berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan
atau menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau
bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan
kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan ijin dari seseorang untuk memeiliki kontrol
terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah
mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentukbentuk
lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa
dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ;
(b) Persetujuan dari seorang korban perdagangan manusia atas eksploitasi yang disengaja seperti
yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini haruslah dianggap batal ketika cara-cara yang tertera
dalam subayat (a) digunakan dalam tindak perdagangan atau eksploitasi tersebut;
(c) Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk
tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai “perdagangan manusia” meskipun jika hal ini tidak
melibatkan cara-cara yang tertera dalam sub ayat (a) pasal ini:
(d) “Anak-anak” harus berarti semua orang dibawah usia delapan belas tahun.
Pasal 4. Wilayah Penerapan
Kecuali bila disebutkan lain, Protokol ini haruslah diberlakukan untuk pencegahan, investigasi dan
penuntutan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan pasal 5 Protokol ini,
dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut bersifat transnasional, dan melibatkan kelompok kejahatan
terorganisir, dan harus diterapkan pula untuk perlindungan bagi korban dari pelanggaran-pelanggaran
tersebut.
Pasal 5. Kriminalisasi
1. Setiap Negara Pihak harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang
dianggap perlu untuk menetapkan tindakan-tindakan yang dinyatakan dalam pasal 3 protokol ini
sebagai tindakan kriminal, ketika tindakan-tindakan dilakukan dengan sengaja.
2. Setiap Negara Pihak juga harus menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang
dianggap perlu untuk menjadikan hal-hal dibawah ini sebagai tindak kriminal:
(a) Tunduk kepada konsep dasar dari sistem hukumnya, percobaan untuk melakukan tindak-tindak
pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini;
(b) Terlibat sebagai kaki tangan dalam tindak pelanggaran yang ditetapkan sesuai dengan ayat 1
pasal ini; dan
(c) Mengorganisir atau menyuruh orangh lain untuk melakukan tindak pelanggaran yang ditetapkan
sesuai dengan ayat 1 pasal ini.
II. PERLINDUNGAN BAGI KORBAN
PERDAGANGAN MANUSIA
Pasal 6. Bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan manusia
1. Dalam kasus-kasus yang layak dan yang sejauh mana dimungkinkan di bawah hukum nasional, setiap
Negara Pihak harus melindungi privasi dan identitas dari korban perdagangan manusia, termasuk
salah satunya, degan cara menerapkan proses hukum yang berhubungan dengan perdagangan.
2. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa hukum nasional atau sistem administrasinya memuat
langkah-langkah yang memberikan korban perdagangan manusia hal-hal di bawah ini:
(a) Informasi mengenai proses pengadilan dan administratif yang relevan;
(b) Bantuan yang memungkinkan bagi pandangan-pandangan dan kekhawatiran-kekhawatiran
mereka untuk bisa tersampaikan dan dipertimbangkan pada tahapan-tahapan yang sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kriminal melawan para pelanggar, namun tetap dalam kerangka tidak
merugikan hak terdakwa.
3. Setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk mengimplementasikan langkah-langkah
pemulihan fisik, psikologi dan sosial bagi korban perdagangan manusia, dalam kasus-kasus yang
sesuai, bekerjasama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi lain yang
relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya, dan terutama dalam ketentuan-ketentuan:
(a) Tempat tinggal yang layak;
(b) Konseling dan informasi, terutama yang terkait dengan hak hukum mereka, dengan menggunakan
bahasa yang bisa dimengerti oleh korban perdagangan mansusia;
(c) Bantuan medis, psikologi dan material; dan
(d) Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pelatihan-pelatihan.
4. Dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, setiap Negara Pihak harus
mempertimbangkan umur, jender, dan kebutuhan-kebutuhan khusus korban perdagangan manusia,
terutama kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak, termasuk didalamnya tempat tinggal, pendidikan
dan pengasuhan yang layak.
5. Setiap Negara Pihak harus berupaya keras untuk menjamin keselamatan fisik korban perdagangan
manusia ketika mereka berada dalam wilayahnya.
6. Setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa sistem hukum nasionalnya memuat langkah-langkah
yang menawarkan korban perdagangan manusia kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi atas
kerugian yang diderita.
Pasal 7. Status korban perdagangan manusia di Negara-negara penerima
1. Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal 6 Protokol ini, setiap Negara
Pihak harus mempertimbangkan untuk menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah
lain yang layak yang memungkinkan korban perdagangan manusia untuk tetap tinggal di wilayahnya,
sementara maupun permanen, dalam kasus-kasus tertentu.
2. Dalam Mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara
Pihak harus memberikan pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan kasih.
Pasal 8. Pemulangan korban perdagangan manusia
1. Negara Pihak dimana seorang korban perdagangan manusia menjadi warga negara atau dimana orang
tersebut mendapatkan hak untuk menjadi penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki wilayah
Negara Pihak penerima, harus memfasilitasi dan menerima kepulangan orang tersebut tanpa
penundaan yang berlebihan dan tidak berlasan, dengan memperhatikan keselamatan orang tersebut.
2. Ketika sebuah Negara Pihak memulangkan seorang korban perdagangan manusia ke Negara Pihak
dimana orang tersebut adalah warga negaranya atau mendapat hak sebagai penduduk tetap, disaat
orang tersebut memasuki wilayah Negara Pihak penerima, pemulangan semacam itu haruslah dengan
memperhatikan keselamatan orang tersebut dan status dari tuntutan-tuntutan hukum apapun yang
terkait dengan fakta bahwa orang tersebut adalah korban perdagangan manusia dan pemulangan
tersebut lebih baik harus bersifat sukarela.
3. Atas permintaan dari Negara Pihak penerima, Negara Pihak yang diminta, tanpa penundaan yang
berlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah orang yang menjadi korban perdagangan
manusia adalah warga negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam wilayahnya
pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara Pihak penerima.
Institute for Criminal Justice Reform www.icjr.or.id
4. Dalam rangka untuk memfasilitasi kepulangan seseorang korban perdagangan manusia yang tidak
memiliki dokumen sebagaimana mestinya, seseorang yang merupakan warga negara dari Negara
Pihak atau orang tersebut mendapat hak sebagai penduduk tetap pada saat orang tersebut memasuki
wilayah Negara Pihak penerima, harus setuju untuk mengeluarkan dokumen perjalanan atau otorisasi
lainnya yang dianggap perlu, sesuai dengan permintaan Negara Pihak penerima, untuk
memungkinkan orang tersebut melakukan perjalanan dan masuk kembali ke dalam wilayahnya.
5. Pasal ini tidak boleh merugikan hak korban perdagangan manusia yang mungkin disebabkan oleh
hukum nasional Negara Pihak penerima.
6. Pasal ini harus tanpa merugikan kesepakatan bilateral atau multilateral yang berlaku atau ketetapan
yang mengatur, secara keseluruhan maupun sebagian, kepulangan korban perdagangan manusia.
(a) Apakah seorang individu yang menyeberangi atau mencoba menyeberangi perbatasan
internasional dengan dokumen perjalanan yang sebenarnya adalah milik orang lain ataupun tanpa
dokumen perjalanan adalah seorang pelaku atau korban perdagangan manusia;
(b) Jenis-jenis dokumen perjalanan yang digunakan atau dicoba untuk digunakan oleh individuindividu
tersebut untuk menyeberangi perbatasan internasional memiliki tujuan perdagangan
manusia..
(c) Alat-alat dan metode-metode yang digunakan oleh kelompok-kelompok kejahatan yang
terorganisir untuk tujuan perdagangan, termasuk pengerahan dan transportasi korban, rute-rute
dan hubungan-hubungan antara dan dalam individu-individu dan kelompok-kelompok yang
terlibat dalam perdagangan semacam itu, dan langkah-langkah yang memungkinkan untuk
mendeteksi mereka.
2. Negara-negara Pihak harus menyediakan atau memperkuat pelatihan untuk penegakan hukum,
imigrasi dan pejabat-pejabat lain yang relevan dalam pencegahan perdagangan manusia. Pelatihan
harus difokuskan pada metode-metode yang digunakan dalam pencegahan perdagangan tersebut,
menghukum para pelaku perdagangan dan melindungi hak para korban, termasuk melindungi para
korban dari pelaku-pelaku perdagangan manusia. Pelatihan yang diselenggarakan juga harus
mempertimbangkan hak manusia dan persoalan-persoalan yang sensitif terhadap anak-anak dan
gender dan juga harus mendorong kerjasama dengan organisasi-organisasi lembaga swadaya
masyarakat, organisasi-organisasi lainnya yang relevan dan elemen-elemen masyarakat sipil lainnya.
3. Negara Pihak yang menerima informasi harus bertindak sesuai dengan permintaan dari Negara Pihak
yang menyampaikan informasi tersebut yang menempatkan pembatasan-pembatasan tempat dalam
penggunaanya.
6. Tanpa merugikan pasal 27 dari konvensi ini, Negara-negara Pihak harus mempertimbangkan
memperkuat kerjasama diantara badan-badan pengawas perbatasan, salah satunya dengan cara
menjalin dan menjaga hubungan-hubungan komunikasi langsung.